Wednesday, May 9, 2007

3. Belajar Berdiri diatas kaki sendiri


Pada Desember 1943 menjelang umur 18 tahun saya selesai belajar di Sekolah Teknik . Pemerintah Jepang bilang lulus kelas 4 sudah cukup bisa bekerja; tidak usah ada kelas 5. Malah sudah ada permintaan dari berbagai fihak untuk mempekerjakan kita, lulusan STM dari kelas 4. Kami para lulusan disuruh menentukan sendiri siapa kerja dimana, karena ada tempat kerja yang enak dan ada yang tidak enak. Yang enak seperti di Kereta Api dan Pekerjaan Umum.Yang tidak enak dilapangan terbang atau ditambang batubara. Sesudah berunding beberapa lama keputusannya baik di lotere saja., jadi adil.Maka kami semua menarik lotere,dan saya bersama 5 orang lulusan lainnya dapat tempat bekerja di tambang batubara, BAYAH KOZAN KABUSHIKI KAISHA, yang lokasinya di Banten Selatan,tanah berbukit yang waktu itu masih jarang penduduknya dan dimana malaria merajalela. Kecamatan Bayah penduduk aslinya adalah beberapa puluh keluarga nelayan dan beberapa ratus orang yang hidupnya dari pertanian sederhana. Maka dengan beroperasinya BAYAH KOZAN desa Bayah jadi mendadak ramai dengan kantor-kantor,rumah-rumah, warung-makan,took-toko dan gudang-gudang baru.Kebanyakan dibangun dari kayu dan bambu. Dan desa kecil itu mendadak jadi ramai dengan datangnya beberapa ratus pegawai dan pekerja baru.Kebanyakan pekerja tambang berasal dari orang desa Jawa Tengah dan Timur yang diambil secara paksa oleh Pemerintah Dai Nippon yang disebut ROMUSHA yang artinya kurang lebih golongan pekerja.Karena mereka diambil secara paksa , maka banyak dari mereka adalah orang-orang yang patah semangat , murung dan sedih, tidak mempunyai semangat kerja. Hanya sedikit yang bisa bekerja secara normal. Mereka rata-rata tak ada yang punya pakaian untuk berganti. Maka begitu datang dalam rombongan kepada mereka dibagi kan celana yang bahannya karung bagor atau goni.Banyaak diantara mereka yang mencoba lari,tapi tak tahu jalan sedang mereka juga tak punya bekal. Maka mereka keadaannya sangat mengenaskan dan banyak yang meninggal dunia dalam perjalanan mereka dihutan.


Di BAYAH KOZAN enam bulan pertama saya dipekerjakan sebagai PEMBANTU MANTRI UKUR dengan tugas mengepalai satu regu tukang rintis dan membantu Pak Mantri Ukur dengan pekerjaannya mencari Tracee jalan rel lori pengangkut produksi batu bara dari lobang yang digali ke terminal Kereta Api di Bayah yang jaraknya beberapa belas kilo meter termasuk tugas saya tiap pagi menyetel theodolit dititik terakhir hari sebelumnya dan merintis jarak yang akan diukur hari itu sedikitnya sudah bersih dari belukar dan lain-lain rintangan sepanjang 50 m. Sehingga Pak mantri tinggal mulai mengukur kalau nanti dia datang sekitar jam 8.00 pagi.Itu berarti tiap pagi sesudah subuh saya harus langsung berangkat dari pondokan ke tempat pekerjaan;kadang-kadang melalui sawah-ladang orang, tapi kebanyakan melalui belukar dan hutan belantara yang jarang diliwati orang.Itu perjalanan paling sedikit 3 atau 4 kilometer. Demikian pula nanti sore pulangnya. Karena pekerjaan mencari tracee itu tiap hari maju beberapa ratus meter, maka jalan pulang pergi dari pondokan ke tempat pekerjaan makin lama makin jauh. Kalau terasa sudah terlalu jauh, maka kami berpindah pondokan ke tempat yang lebih dekat. Dalam perjalanan pagi –sore yang demikian itu kami tak jarang menemukan seorang romusha yang sudah meninggal tersesat jalan.


Pekerjaan mencari tracee itu diperlombakan diaanatara dua team ukur.Tracee yang lebih baik nantinya yang akan dipakai .Sesudah dinilai oleh perusahaan ternyata yang menang bukan team Pak Mantri Ukur yang saya bantu

.

. Sesudah menjadi pembantu mantri ukur saya diberi tugas mengerjakan seruas jalan rel lori yang kemudian dibangun. Pekerjaannya ya cukup menantang karena harus dimulai dari awal sekali sampai akhir; dan dikerjakan semuanya dengan material yang hampir semuanya lokal. Jadi menyangkut galian dan urugan dalam membangun badan jalan untuk menembus bukit dan melintasi jurang kalau perlu dengan menggunakan dinamit. Kemudian dengan menebang pohon-pohon besar dan menaikkannya dari lembah-lembah yang cukup dalam dan curam untuk memperoleh bahan buat tiang-tiang dan gelagar jembatan-jembatan, dan membuat bantalan buat rel lori. Semuanya harus dikerjakan dengan tangan dengan alat-alat yang sederhana karena alat yang canggih tidak ada, seperti chainsaw dan alat-berat.Kami sering harus tinggal dipondok-pondok darurat,karena jauh dari desa-2 penduduk.Waktu itu di Banten Selatan penduduknya masih sedikit sekali; desa yang satu jaraknya bisa belasan kilometer dari desa yang lain. Tidak seperti di Jawa Tengah atau Timur yang padat penduduk. Pondok-pondok darurat tersebut lazimnya dibangun didekat lobang galian batu bara dan diberi nama dengan nomor saja, supaya mudah. Dalam pekerjaan itu saya tinggal dipondok Lobang 14.


Tiap hari Sabtu kami pulang ke Bayah untuk nanti Senen paginya berangkat lagi ketempat pekerjaan. Di Bayah para pemuda bujangan tinggal di bedeng-bedeng pemuda.Tiap bedeng terdiri atas 12 kamar dan tiap kamar dihuni oleh 2 orang bujangan.Kawan saya sekamar adalah Soedarsono , anak ahli listrik dari Surabaya. Seingat saya ada dua kelompok bedeng pemuda. Tiap kelompok terdiri atas tiga bedeng. Di kelompok bedeng atas ada ruang rekreasi terbuka untuk para pemuda main musik dan main biljard.Bedeng bawah terletak didekat perumahan pegawai yang sudah berkeluarga, diantaranya juga seorang kawan sekolah dari Jogja juga, Roesmadi namanya. Dibedeng atas ada pemuda yang namanya Kuspiran yang bisa jadi tukang cukur. Dibedeng bawah ada Ngenget yang pegawai gudang dan suka punya minuman keras yang ia curi dari gudang, yang biasanya jatahnya Tuan-tuan Besar Jepang. Jadi kalau malam Minggu kami sering berkumpul dikamar Ngenget dan bersama-sama menikmati “hasil karyanya” . Pada kesempatan yang demikian kami semua bergembira dan salah seorang selalu kami bikin mabuk dengan memberikan digelas minumnya sedikit abu rokok. Ini untuk menambah suasana gembira karena orang yang mulai mabuk biasanya bertambah gembira dan ngoceh macam-macam yang membuat orang tertawa. Ada juga yang menjadi pendiam atau murung. Tapi ada juga yang menjadi pemarah dan jahat. Satu ketika yang dibikin mabuk si Jacob, orang yang biasanya gembira dan jovial. Mula- mula ia memang menjadi lebih melawak dari biasanya, tapi sesudah minum lebih banyak dia ingat seseorang yang pernah menipu dia. Dia jadi marah-marah dan mencabut goloknya mau membunuh orang itu, yang pernah menipunya. Gegerlah kita semua dan merayunya untuk mengurungkan niatnya.Baru hampir satu jam kemudian dia bisa dihentikan dengan memberinya minum lebih banyak sampai betul-betul mabuk dan terus tidur.

Hari Minggunya kami sering main-main ke pantai sambil cuci mata kami menunggu para nelayan pulang dengan perahu mayangnya.Kadang-kadang kami memborong hasil tangkapan ikan mereka dengan harga Rp.300,- - Rp.400,- .Kemudian kami pilihi dulu yang enak-enak kami makan sendiri dan yang lainnya kami jual lagi. Yang tidak laku dijual kami asin untuk bekal berangkat bekerja lagi atau untuk oleh-oleh kalau pulang kampung. Dalam setahun kami boleh cuti dua kali karena pekerjaan kami dianggap lebih berat dari pekerjaan biasa

No comments: